Senja membayang. Bola raksasa dengan campuran warna
merah-oranye tersenyum cerah dalam bulatnya yang sempurna. Angin semilir
menyapa ramah. Namun suasana di rumah itu tampak tersaput mendung. Sebuah rumah
tua nan asri.
“Rumah ini dijual saja!”
Mah Iyoh membeku. Mata cekungnya menyorot pilu. Air mukanya
mengeruh. Anja, anak bungsu dan lelaki
satu-satunya, menatap menunggu jawab. Namun, Mak Iyoh tetap bergeming.
Kata-katanya mengumpul di ujung bibir, tak mampu dilepaskannya.
“Mak setuju tidak?” tanya Anja, hati-hati.
Mata Mak Iyoh menerawang. Di dinding, seekor cicak merayap
tanpa ekor merayap cepat lalu menyelinap di balik bingkai. Mak iyoh menghela
napas. Bingkai itu memanjang foto dirinya bersama suami tercinta, yang telah
berpulang ke haribaan-Nya, setahun silam.
“Mak pikir-pikir dulu, ya...” lirih Mak Iyoh.
Sepasang anak kembar, usia lima tahun, berlarian dari arah luar,
berceloteh ribut.
“Nini jadi ikut ke rumah kita kan ?”
“Nini nanti tidur sama kita, ya!”
Masing-masing lengan Mak Iyoh diguncang-guncang. Perempuan
usia enam puluhan itu tersenyum penuh kasih pada cucu-cucu tersayangnya.
“Nini jadi ikut, kaan...?” si kembar mengulang pertanyaan.
“Iya, Nini ke rumah kita, tapi enggak sekarang. Nanti bulan
depan!” tegas Anja.
“Yaah...!” si kembar memandang kecewa pada ayahnya.
Di sudut ruangan, Teta, istri Anja, tenang menyuapi adik si
kembar, tak terpengaruh keadaan.
***
Mak Iyoh meluruskan kaki kurusnya. Mata tuanya mengelilingi
ruangan 2X2 meter yang kini menjadi kamarnya. Sebuah lemari plastik baru,
berdiri tegak di samping ranjang yang sejak didudukinya. Aku harus betah di
sini, demi anak cucu, tekadnya.
Kamar baru mak Iyoh terletak di bagian belakang rumah Anja.
Dulunya kamar pembantu. Karena tidak ada ruangan lain, Mak Iyoh tidak keberatan
menempati kamar sempit itu.
Malam belum beranjak tua. Mak Iyoh masih membaca Al-Qur’an
dengan suara perlahan. Dari ruang keluarga terdengar gelak tawa. Anja dan
keluarganya tengah asyik menyaksikan tayangan komedi dari televisi layar datar
dari ruangan tersebut.
Mak Iyoh mengakhiri bacaan Qur’an-nya saat kaki mulai terasa
kesemutan. Ia selalu menjaga sikap. Kaki berselonjor, menurutnya, adalah posisi
yang tidak patut bila sedang mengaji. Maka ditutuplah Qur’an usang miliknya.
Hening menyergap. Seketika Mak Iyoh mengingat malam-malam sepinya di kampung
yang ditingkahi suara jangkrik atau senandung burung hantu. Sebuah simfoni
malam yang tak tergantikan keindahannya oleh orkestra manapun.
Kepindahan Mak Iyoh ke rumah Anja kadang masih menyisakan tanya
dalam benaknya sendiri. Tepatkah langkah ini? Namun segera dikuatkannya hati.
Ini demi anak cucu.
Teta, bekerja di bank swasta ternama. Ia sangat membutuhkan
seseorang untuk menjaga anak-anaknya selama ia tidak di rumah. Pembantu yang
ada sekarang hanya datang pagi pulang sore, dan tidak jarang mangkir dengan
rupa-rupa alasan. Mak Iyoh diminta untuk menjaga cucu-cucunya. Maka dipenuhi
permintaan itu dengan meninggalkan segenap kenangannya di kampung.
***
Matahari belum mencapai ubun-ubun, namun kegarangannya mulai
tampak. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Seperti hari-hari kemarin,
langkah kaki Mak Iyoh mengayun perlahan menuju taman kanak-kanak tempat cucunya
bersekolah, meneuhi permintaan mereka.
“Ni, jemput kita, ya! Aku enggak mau sama Mbak Lis lagi,
ah!”
“Iya, Ni... Dia suka ngobrol lama di warung bakso Mas Acoy.
Males banget!”
Ibu-ibu berkerumun di luar pagar sekolah sambil asyik bicara
ngalor ngidul. Saat tertangkap retina, sosok Mak Iyoh berjalan di kejauhan,
seorang ibu membuka topik baru, dan segera disambut sahut-menyahut.
“Kasihan, ya, neneknya Rani-Rina, tiap hari berpanas-panas
ngejemput cucunya.”
“malah paginya, sambil menggendong adik si kembar, ikut
antre di Mpok sayur. Tangan satu ngegendong, satunya lagi bawa kantong
belanja!”
“Orang tua, kok, dijadikan pembantu, ya? Ih, amit-amit!”
“Padahal, Bu Teta, kan
punya pembantu.”
“Pembantu ganjen! Pacaran mulu sama si Acoy tukang bakso.”
“Dia, sih, enak, datangnya jam delapanan. Rumah sudah rapi,
si kecil sudah dimandiin, disuapin. Malah yang masak juga sering Mak Iyoh itu.”
***
Mak Iyoh baru saja mengucap salam pada rakaat terakhir
shalat Ashar saat terdengar pintu kamarnya diketuk. Mbak Lis muncul, lalu tanpa
dosa pamit pulang sambil menitipkan jemuran.
“Roni sudah dimandikan mbak?” tanya Mak Iyoh.
“Belum, Ni, masih nyenyak tidurnya. Si kembar juga belum
tuh, dari tadi anteng main Barbie,” jawab Mbak Lis enteng, seraya berlalu.
Mak Iyoh menghela napas. Diraihnya Al-Qur’an, lalu memulai
tilawah. Belum satu halaman dirampungkan, terdengah tangis Roni memecah sore.
Mak Iyoh melangkah tergesa. Rupanya, Roni bangun dalam keadaan mengompol.
Sambil menenangkan tangis, Mak Iyoh mencopoti baju pesing itu kemudian menuntun
Roni ke kamar mandi. Selesai mandi, Roni minta digendong menuju kamarnya. Bocah
tiga tahun berbobot sembilan belas kilogram itu pun digendong. Rasa sakit
menjalari kaki yang kerap dirasakan Mak Iyoh ditahannya kuat-kuat.
Tiba-tiba dari arah belakang, si kembar riuh berseru,
“Hujaan... Ni... hujaan!”
Teringat jemuran yang tadi dititipkan Mbak Lis, tanpa
memedulikan rasa sakit pada kakinya Mak Iyoh langsung tergopoh-gopoh menuju
jemuran dan menyambar semua pakaian. Lalu semuanya ditaruh dalam boks plastik
di ruang setrika. Yang masih agak basah dipilih dan digantungnya pada gantungan
berbentuk lingkaran.
Sementara itu, hujan tanpa aba-aba terus mengalir deras.
Saat keluar dari ruang setrika, Nini Iyoh tercekat. Rani-Rina-Roni sempurna
basah kuyup, sukses bermain hujan.
***
Teta menarik termometer dari ketiak Rina.
“Hmm... sama dengan Rani 38 derajat!” gumannya dengan nada
gusar, memasukkan termometer ke dalam wadahnya.
Mak Iyoh tertunduk lesu. Tangannya dengan kulit yang
mengisut itu memijat lembut kaki Roni yang tertidur pulas di sofa. Tidak demam
seperti kakaknya, suhu Roni setelah diukur ‘hanya’ 36,5 derajat.
Teta menyiapkan sirup penurun panas, “Kalian minum obat,
sekarang!” suaranya ketus.
“Nini bantu minum obatnya,” Mak Iyoh beringsut dari kursi.
Teta tak bereaksi. Raut mukanya tetap masam. Disodorkannya
sesendok sirup penurun panas kepada putri kembarnya.
“Kalau sudah minum obat, cepat tidur supaya panasnya cepat
turun!” ujar Teta dingin, tepat saat Mak Iyoh dengan lunglai kembali ke
kamarnya.
***
Rasa sakit yang menusuk-nusuk kaki semakin ngilu dirasakan
Mak Iyoh. Balsem yang membaluri sekujur kakinya tidak lagi berarti. Barangkali
aku harus minum obat, pikirnya. Mak Iyoh pun membulatkan niat untuk
mengungkapkan rasa sakit yang dideritanya, namun selalu ia sembunyikan itu.
Hari Sabtu begini kan
libur, mungkin anakku mau mengantar ke dokter, harap Mak Iyoh dalam hati.
Saat tiba di ruang keluarga, terlihat Teta dalam penampilan
rapi dan modis tengah sibuk membujuk si kembar. Sementara si bungsu asyik
menonton film anak-anak dari TV kabel.
Anja, dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans trendi yang
membungkus tubuh atletisnya, mengenakan kaos kaki sambil berujar ringan, “Mak,
aku mau mengantar Teta ke acara reuni teman-teman kuliahnya. Titip anak-anak di
rumah ya!”
Teta berhasil membujuk Rani-Rina, kemudian mematut diri di depan
cermin besar di atas bufet, memperbaiki letak bros, dan tanpa beban
menambahkan, “Si kembar masih agak anget badannya. Nanti habis makan, suruh
pada minum obat, terus langsung tidur!”
Mak Iyoh mengangguk. Tatapan matanya meredup mengiringi
kepergian anak dan menantunya. Ada
sesak yang menggumpal di dada.
Di luar, senja mulai turun. Lukisan alam alam akan berganti
dengan semburat jingga yang anggun. Kehadirannya singkat saja. Ia penghujung
waktu yang pantang disiakan, sebelum sang malam menutup hari.
Majalah Ummi no12/XXIV/Desember 2012